Oleh: Muhammad Arief Albani*
Pesantren adalah institusi pendidikan tertua dan paling orisinal di Indonesia. Lebih dari sekadar lembaga pendidikan agama, pesantren merupakan pusat peradaban dan penjaga otentik akar budaya Nusantara. Lembaga ini menjunjung tinggi nilai toleransi, adab, dan kearifan lokal. Dalam konteks ini, pesantren berperan penting menjaga harmoni antara nilai keislaman dan tradisi kebangsaan.
Namun, kehadiran media massa modern sering kali menimbulkan dilema budaya. Stasiun televisi, terutama yang berorientasi pada hiburan komersial, kerap menjadi sorotan publik. Trans7, misalnya, sering dianggap lebih mengedepankan konten hiburan dan gaya hidup global ketimbang pelestarian budaya lokal. Fenomena ini menimbulkan kekhawatiran akan terkikisnya nilai-nilai luhur Nusantara.
Akar tradisi pesantren tertanam kuat dalam sejarah Islamisasi Nusantara yang berlangsung secara damai, adaptif, dan akulturatif. Model pendidikan pesantren lahir dari sintesis antara tradisi keilmuan Islam Timur Tengah dan lembaga pendidikan lokal pra-Islam. Proses ini melahirkan sistem pendidikan khas Indonesia yang sarat nilai kultural. Dari sinilah, pesantren tumbuh menjadi lembaga pembentuk karakter bangsa.
Sejumlah bukti historis menegaskan pesantren sebagai inkubator budaya Nusantara. Dari surau kecil hingga lembaga pendidikan terstruktur, pesantren mengalami evolusi panjang. Sistem asrama dan relasi guru-murid (cantrik-kyai) bahkan dikaitkan dengan model pendidikan Hindu-Buddha yang telah ada sebelumnya. Hal ini menunjukkan kemampuan pesantren beradaptasi dan menyerap nilai lokal tanpa kehilangan jati diri Islam.
Peran Walisongo memperkuat akulturasi Islam dan budaya Nusantara. Mereka menggunakan media seni tradisional seperti wayang, tembang, dan gamelan untuk berdakwah. Pesan moral dan tauhid disampaikan dengan cara yang halus, kontekstual, dan menyentuh rasa budaya masyarakat. Pendekatan inilah yang membuat Islam diterima dengan damai di bumi Nusantara.
Dalam praktik keseharian, pesantren menjadi manifestasi nilai-nilai ketimuran yang bersumber dari adab. Tradisi menempatkan guru (kyai) pada posisi yang sangat mulia sejalan dengan budaya menghormati orang tua dan pemimpin spiritual. Santri belajar bahwa menghormati guru adalah bagian dari ibadah. Nilai-nilai ini selaras dengan kearifan lokal Jawa dan Melayu yang menjunjung tinggi tata krama dan sopan santun.
Tradisi cium tangan Kyai adalah wujud konkret dari adab sebelum ilmu. Tindakan ini bukan hanya simbol penghormatan, tetapi juga pengakuan bahwa keberkahan ilmu mengalir melalui guru. Menunduk di hadapan Kyai mencerminkan filosofi tawadhu’ (rendah hati). Dengan cara itu, santri dilatih menghargai ilmu sekaligus menjaga adab sosial dalam kehidupan sehari-hari.
Selain itu, khidmah atau membantu Kyai menjadi tradisi penting di pesantren. Santri membantu pekerjaan sehari-hari Kyai, dari membersihkan rumah hingga mengurus keperluan kecil. Nilai khidmah ini menanamkan semangat gotong royong dan solidaritas sosial. Tradisi tersebut mencerminkan ajaran Islam yang sejalan dengan semangat budaya Nusantara.
Imam Malik rahimahullah pernah berkata, “Aku belajar adab kepada guruku selama tiga puluh tahun, baru aku belajar ilmu selama dua puluh tahun.” Ungkapan ini relevan dengan filosofi pendidikan pesantren. Adab selalu ditempatkan lebih tinggi daripada ilmu. Dengan demikian, pesantren menjadi benteng utama bagi pembentukan moral dan budaya luhur bangsa.
Bertolak belakang dengan peran pesantren, media massa modern sering menjadi agen pengikis budaya. Dalam konteks ini, Trans7 menjadi contoh nyata. Stasiun ini, dengan program hiburan populer dan gaya hidup modern, dianggap memperlemah nilai-nilai kesopanan dan ketawadhu’an. Tanpa disadari, tayangan semacam itu menanamkan nilai individualisme dan materialisme di masyarakat.
Konten hiburan Trans7 sering kali didominasi oleh komedi yang mengejek dan penggunaan bahasa gaul yang tidak santun. Penampilan yang terlalu terbuka dan perilaku yang kurang sopan menjadi tontonan rutin. Nilai-nilai seperti tawadhu’, sopan santun, dan penghormatan pada yang lebih tua semakin tersisih. Akibatnya, generasi muda lebih akrab dengan gaya hidup global daripada budaya sendiri.
Ketika budaya Nusantara ditampilkan, seringkali hanya sebagai hiasan visual belaka. Tayangan bertema budaya cenderung mengutamakan aspek eksotis tanpa menggali nilai filosofis di baliknya. Padahal, esensi kebudayaan adalah pada nilai-nilai moral dan spiritualnya. Pendekatan semacam ini justru menjadikan budaya hanya sebagai komoditas hiburan semata.
Iklan dan narasi program Trans7 memperkuat budaya konsumtif dan liberalisme global. Tayangan-tayangan itu menumbuhkan orientasi hidup glamor dan serba instan. Nilai kesederhanaan, gotong royong, dan khidmah yang diajarkan pesantren perlahan terkikis. Di titik inilah media berpotensi menjadi agen homogenisasi budaya yang mengancam identitas bangsa.
Media seperti Trans7 juga berpotensi melemahkan peran Kyai dan tradisi adab. Anak muda lebih mudah meniru gaya bicara, pakaian, dan sikap dari televisi ketimbang meneladani sopan santun santri. Tradisi cium tangan dan khidmah bisa dianggap kuno oleh generasi yang terpapar budaya populer. Akibatnya, penghormatan terhadap guru dan nilai ketimuran mulai terpinggirkan.
Pesantren sejatinya adalah institusi kultural yang benar-benar asli Indonesia. Dengan tradisi cium tangan, menunduk, dan khidmah, pesantren menjaga inti adab dan akar budaya Nusantara yang sejati. Sebaliknya, media komersial seperti Trans7 dalam mengejar rating justru menjauhkan masyarakat dari nilai luhur itu. Dominasi konten global membuat masyarakat kehilangan orientasi kulturalnya.
Sudah saatnya media massa merevitalisasi perannya dalam menjaga identitas bangsa. Media harus menjadi mitra pesantren, bukan lawan. Budaya hendaknya dijadikan instrumen dakwah, pendidikan, dan perekat sosial. Hanya dengan begitu, Indonesia dapat bertahan dari gempuran kapitalisme dan liberalisme global yang merusak jiwa bangsa.
Berbenahlah, Trans7. Kehadiranmu kini berada di antara dibutuhkan dan tidak bagi Indonesia yang berbudaya. Pesantren telah lebih dulu menancapkan akar kebaikan dan peradaban di bumi Nusantara. Jadilah media yang berpihak pada nilai, bukan semata pada sensasi.
*) Alumni Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur








