Oleh: Drs. H. Mughni Labib, M.Si.,
Dosen Fakultas Syariah UIN Saizu Purwokerto
Tahlilan, tradisi membaca Al-Qur’an dan kalimat thayyibah (tasbih, tahmid, tahlil, takbir) untuk dihadiahkan kepada arwah orang yang telah wafat, kerap menjadi perbincangan di tengah umat.
Kegiatan ini biasanya dilakukan pada hari-hari tertentu pascakematian, seperti tujuh hari berturut-turut, hari ke-40, ke-100, ke-1000, bahkan rutin setiap malam Jumat.
Tahlilan mencakup tiga unsur utama:
Menghadiahkan pahala bacaan kepada mayit
Mengkhususkan waktu pelaksanaannya
Bersedekah atas nama mayit
Lalu, bagaimana pandangan para ulama dari berbagai mazhab tentang ketiga poin ini?
1. Hukum Menghadiahkan Pahala Bacaan kepada Mayit
Mayoritas ulama membolehkannya.
Ulama Mazhab Hanafi, Hanbali, sebagian Syafi’i, dan sebagian Maliki, menyatakan bahwa pahala bacaan Al-Qur’an dan zikir bisa dihadiahkan kepada orang yang telah wafat.
Syekh Az-Zaila’i (Hanafi) menyatakan dalam Tabyinul Haqaiq, bahwa menurut Ahlussunnah wal Jama’ah, seseorang boleh menghadiahkan pahala amal salehnya baik shalat, puasa, haji, sedekah, maupun bacaan Qur’an kepada orang lain. Pahala itu akan sampai dan bermanfaat bagi mayit (juz 5, hlm. 131).
Syekh Ad-Dasuqi (Maliki) menulis bahwa jika seseorang membaca Al-Qur’an dan menghadiahkan pahalanya kepada mayit, maka itu diperbolehkan dan pahalanya sampai kepada si mayit (Hasyiyatud Dasuqi, juz 4, hlm. 173).
Imam an-Nawawi (Syafi’i) juga menyebutkan dalam Al-Majmu’, bahwa disunnahkan bagi peziarah kubur untuk memberi salam, membaca Al-Qur’an, dan mendoakan mayit (juz 5, hlm. 204).
Ibnu Qudamah (Hanbali) menegaskan dalam Al-Mughni, bahwa amal ibadah seperti doa, istighfar, sedekah, dan lainnya jika dihadiahkan kepada mayit, maka Insya Allah akan sampai (juz 2, hlm. 427).
Ibnu Taimiyah pun sependapat. Dalam Majmu’ al-Fatawa, ia menyatakan bahwa hadiah pahala seperti shalat, puasa, dan bacaan Al-Qur’an kepada mayit itu sah dan bermanfaat (juz 14, hlm. 322).
Namun, sebagian ulama Maliki dan Syafi’i menolaknya, dengan alasan bahwa tidak ada dalil qath’i (pasti) yang menyatakan pahala bacaan Qur’an akan sampai kepada mayit.
Misalnya, Syekh Qarafi dan Ibnu Abi Jamrah (Maliki) berpendapat bahwa pahala bacaan Qur’an tidak bisa dihadiahkan untuk orang mati.
2. Hukum Mengkhususkan Waktu Tertentu untuk Tahlilan
Mayoritas ulama membolehkan pengkhususan waktu ibadah, seperti tahlilan pada malam Jumat atau hari ke-7, ke-40, dan ke-100 setelah kematian.
Hadis riwayat al-Bukhari dari Ibnu Umar (no. 1193) menyebutkan bahwa Nabi Muhammad SAW biasa mendatangi Masjid Quba setiap hari Sabtu.
Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani menjelaskan bahwa hadis ini menunjukkan kebolehan mengkhususkan waktu tertentu untuk amalan saleh (Fathul Bari, juz 3, hlm. 89-90).
Imam Nawawi Banten dalam Nihayatuz Zain menyatakan bahwa bersedekah untuk mayit tidak dibatasi waktu, namun pembatasan pada hari ke-3, 7, 40, 100, hingga tahunan (haul) adalah bagian dari kebiasaan yang berkembang di masyarakat.
Imam Thawus Al-Yamani, seorang Tabi’in, menambahkan bahwa karena mayit akan ditanya di alam kubur selama tujuh hari, maka para salaf menganjurkan memberi makan (sedekah) selama periode tersebut.
3. Hukum Bersedekah untuk Mayit
Dalam hal ini, para ulama sepakat bahwa sedekah untuk mayit hukumnya boleh dan berpahala, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Aisyah dan Abu Hurairah:
“Sesungguhnya ibuku wafat secara tiba-tiba, dan saya yakin jika sempat berbicara, ia akan bersedekah. Apakah saya boleh bersedekah atas namanya?” Nabi menjawab, “Ya.” (HR. Muslim No. 1004 & 1630)
Imam An-Nawawi menegaskan bahwa hadis ini menjadi dalil sahnya bersedekah atas nama mayit, dan para ulama sepakat bahwa pahalanya akan sampai kepada yang wafat (Syarh Shahih Muslim, juz 4 & 6).
Berdasarkan kajian dari berbagai mazhab, dapat disimpulkan bahwa:
1. Mayoritas ulama membolehkan menghadiahkan pahala bacaan Al-Qur’an dan zikir kepada mayit.
2. Mengkhususkan waktu tertentu seperti malam Jumat, hari ke-7, ke-40, ke-100, dan haul tahunan juga diperbolehkan.
3. Bersedekah atas nama mayit disepakati kebolehannya oleh seluruh mazhab.
Dengan demikian, tahlilan bukan hanya tradisi, tetapi juga memiliki dasar kuat dalam fiqh Islam menurut mayoritas ulama.
Meski ada perbedaan, semuanya berangkat dari kehati-hatian dalam memahami nash dan maslahat umat. Wallahu A’lam.