Oleh : Stevanus Tonggor H. Tamba Juru Bicara Tribhata
Purwokerto 22-09-2025
Polemik Peraturan Bupati Banyumas No. 9 Tahun 2024 tentang tunjangan pimpinan dan anggota DPRD tidak berhenti pada kontroversi sosial. Secara hukum, regulasi ini telah nyata melanggar asas retroaktif maupun non-retroaktif dan membuka pertanyaan serius: apakah kebijakan ini berpotensi masuk kategori tindak pidana korupsi???
Pasal 13 ayat (2) Perbup 9/2024 memerintahkan pembayaran tunjangan terhitung sejak Januari 2024, padahal peraturan baru ditetapkan 16/4/2024 atau di tahun yang sama. Ini jelas melanggar asas retroaktif — prinsip fundamental dalam hukum administrasi negara.
1. UU No. 30 Tahun 2014 menegaskan larangan berlaku surut kecuali untuk melindungi hak rakyat atau keuangan negara.
2. Fakta bahwa peraturan retroaktif diterapkan untuk kepentingan pejabat, bukan masyarakat, adalah bentuk maladministrasi serius.
Kesalahan Tidak Hilang Meski Uang Dikembalikan.
Pengembalian kerugian tidak menghapus pelanggaran hukum. Begitu kebijakan retroaktif dijalankan, sejak saat itu pula terjadi perbuatan maladministrasi yang cacat yuridis. Pengembalian hanya menutup jejak finansial, tetapi kesalahan prosedural dan etik tetap melekat.
Potensi Tipikor: Layak Dipertanyakan.
Dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyebutkan:
_”Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan, sehingga dapat merugikan keuangan negara, adalah tindak pidana korupsi.”_
Dalam konteks Perbup 9/2024:
1. Ada indikasi penyalahgunaan kewenangan melalui regulasi retroaktif yang melahirkan keuntungan pribadi bagi pejabat.
2. Ada potensi kerugian keuangan negara, karena pembayaran diduga dilakukan tanpa dasar hukum yang sah sejak Januari 2024. Mengacu pada asas *_Ex Tunce_*maka penilaian akan dilihat dan dikaitkan dengan aturan/perbup yg berlaku pada saat perbuatan tsb dilakukan.
3. Ada indikasi konflik kepentingan, sebab regulasi yang seharusnya melayani publik justru diarahkan untuk menguntungkan pihak yang berwenang maupun yang mengawasi.
Dengan demikian, meski uang dikembalikan, potensi kerugian keuangan negara tetap bisa ditelusuri karena niat (mens rea) dan perbuatan (actus reus) sudah terjadi: penyalahgunaan kewenangan untuk keuntungan pribadi.
Kasus ini menegaskan keruntuhan moralitas politik lokal. Bagaimana mungkin pejabat yang dipilih rakyat tega merumuskan aturan yang sejak awal menguntungkan dirinya sendiri, di tengah rakyat yang hidup dengan UMK sekitar Rp 2,2juta di tahun 2024? Ini bukan hanya soal cacat hukum, tapi juga pengkhianatan etika publik.
Perbup No. 9/2024 tidak hanya cacat yuridis dan etis, tetapi juga menimbulkan dugaan kuat adanya unsur dalam tindak pidana korupsi.
Mengembalikan uang bukan jalan keluar. Kesalahan ini menuntut evaluasi total, koreksi regulasi, dan pertanggungjawaban moral sekaligus hukum.
Fokus Pada Solusi
Selain itu kita juga harus Fokus pada Solusi dan pemulihan Kepercayaan Publik. Kita perlu memastikan agar dinamika ini tidak berkembang menjadi konflik sosial yang merugikan masyarakat luas yaitu dengan mencari solusi.
Kami memahami keresahan masyarakat atas adanya ketentuan yang menimbulkan tafsir retroaktif dan dianggap tidak sensitif terhadap kondisi sosial. Kritik publik adalah alarm penting yang harus dihormati. Karena itu, langkah evaluasi yang tengah digulirkan eksekutif maupun dibuka oleh DPRD adalah arah yang tepat.
Fokus kita sekarang bukan lagi pada saling menyalahkan, melainkan mencari solusi adil dan transparan demi kebaikan Banyumas.
Pentingnya Keterbukaan dan Dialog. Ke depan komunikasi publik harus diperbaiki. Regulasi terkait keuangan pejabat adalah isu sensitif yang menyangkut kepercayaan rakyat. Maka diperlukan:
– Transparansi penuh dalam setiap proses pembahasan.
– Dialog terbuka antara pemerintah daerah, DPRD, dan masyarakat sipil.
– Partisipasi akademisi serta tokoh masyarakat sebagai penyeimbang.
Dengan cara ini, polemik bisa diselesaikan di meja musyawarah, bukan di jalanan yang berpotensi memecah belah.
Perlu diingat, Banyumas adalah rumah bersama. Konflik berkepanjangan hanya akan merugikan masyarakat, menghambat pelayanan publik, dan menurunkan citra daerah. Kritik tetap perlu, tetapi harus disampaikan dengan damai, profesional, dan sesuai koridor konstitusi.
Peristiwa ini menjadi pelajaran penting bahwa regulasi tidak hanya soal angka, tetapi juga soal keadilan dan kepercayaan. Mari kita jadikan momentum ini untuk memperkuat tata kelola pemerintahan yang lebih transparan dan akuntabel.
Dengan komunikasi yang sehat, evaluasi yang terbuka, dan semangat kebersamaan, polemik Perbup No. 9/2024 bisa kita redam, demi Banyumas yang lebih kondusif dan maju.