PURWOKERTO— Suasana Lapangan Kantor Pusat Administrasi Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto pada Sabtu malam (25/10/2025) berubah menjadi panggung kebudayaan meriah. Malambpuncak Dies Natalis ke-62 Unsoed, digelar pagelaran wayang kulit dengan lakon “Bima Ngaji” oleh Ki Lulut Ardiyanto, dalang muda asal Purbalingga yang dikenal inovatif namun tetap menjaga ruh klasik pedalangan Banyumasan.
Pagelaran yang dimulai pukul 19.30 WIB itu menarik perhatian ratusan penonton — mulai dari sivitas akademika Unsoed hingga masyarakat umum. Tak ketinggalan, tampil pula dalang cilik Faeyza Arya Lana, yang membuka acara dengan kepiawaian luar biasa di usia muda.
Rektor Unsoed, Prof. Dr. Ir. Akhmad Sodiq, dalam sambutannya menyampaikan bahwa wayang kulit bukan sekadar hiburan, tetapi juga sarana pendidikan karakter dan spiritualitas.
Akhmad Sodiq menyampaikan bahwa lakon Bima Ngaji tidak hanya sebagai hiburan budaya, tetapi juga mengandung nilai-nilai literasi, kompetensi, dan karakter yang sejalan dengan filosofi pendidikan tinggi.
“Ada nilai lifelong education di sini. Bima menggambarkan perjuangan menuntut ilmu yang penuh rintangan, tapi berakhir dengan kesuksesan. Itulah karakter perjuangan dan ketekunan yang harus dimiliki mahasiswa Unsoed,” ujarnya.

Prof. Akhmad juga menyinggung simbol-simbol dalam pertunjukan seperti gunungan dan tali wayang sebagai bentuk refleksi kurikulum pendidikan karakter yang harus terus dikembangkan di lingkungan kampus.
Makna Filosofis: Bima sebagai Cerminan Mahasiswa Penuntut Ilmu
Sementara itu, Wakil Rektor II Unsoed, Kuat Puji Santoso, menjelaskan bahwa lakon Bima Ngaji memiliki relevansi dengan dunia akademik masa kini.
“Bima itu ibarat mahasiswa yang sedang menuntut ilmu. Fase kuliah bukanlah masa hura-hura, tapi masa penuh tantangan dan keprihatinan. Keseriusan dan ketekunan menjadi kunci,” jelas Kuat.
Ia menambahkan, sebagaimana Bima yang akhirnya memperoleh kesaktian dari Dewa Ruci, mahasiswa juga akan memperoleh “kesaktian” berupa ilmu pengetahuan dan ijazah sarjana sebagai bekal menaklukkan kehidupan dan menumpas “kedzaliman” dalam arti luas yaitu kebodohan dan ketidakadilan sosial.
Dalam lakon “Bima Ngaji”, diceritakan Bratasena (Bima) yang ingin berguru kepada Resi Durna demi mencari ilmu sejati. Namun niat sucinya justru menjadi awal dari perjalanan penuh cobaan, karena ia dijebak oleh para Kurawa dan Durna.
“Permintaan lakon ini datang langsung dari Pak Rektor. Saya tertarik karena kisahnya dalam dan relevan dengan kehidupan sekarang. Bima ingin belajar, tapi lupa restu gurunya. Dari situlah muncul berbagai ujian,” tutur Ki Lulut Ardiyanto jelang pementasan.
Dalam perjalanannya, Bima menghadapi berbagai rintangan — mulai dari pertempuran dengan para raksasa hingga melawan ular raksasa Ula Batnawa. Namun dari penderitaan itu, ia akhirnya bertemu dengan Dewa Ruci, yang menjadi guru sejati dan mengajarinya tentang ilmu kasampurnan.
“Pesan moralnya jelas — ilmu sejati tidak hanya datang dari guru duniawi, tapi juga dari kesadaran diri dan restu orang guru,” ujar Ki Lulut.
Pagelaran ini menjadi salah satu puncak kegiatan Dies Natalis Unsoed ke-62, yang mengangkat tema “Membangun Ilmu dan Karakter Berbasis Nilai Luhur Nusantara.”
Pementasan wayang tersebut tidak hanya menghibur, tetapi juga menjadi ruang refleksi bagi penonton tentang pentingnya spiritualitas, bakti kepada orang tua, dan perjuangan mencari ilmu sejati.
Penampilan Ki Lulut Ardiyanto berhasil memadukan estetika tradisi dengan kedalaman pesan moral. Setiap sabetan, suluk, dan cengkok sinden menggugah suasana — menghadirkan pengalaman batin yang jarang dijumpai di tengah kehidupan modern.
“Bima Ngaji” bukan sekadar tontonan, tetapi juga tuntunan — mengingatkan bahwa di balik kecerdasan dan prestasi akademik, ada restu guru dan niat suci yang menjadi sumber sejati dari segala ilmu.







