Oleh :
Nadhif Rizqi Sarwahita
Mahasiswa Teknik Industri Unsoed
Purbalingga punya modal besar di sektor pertanian. Lahan subur, iklim mendukung, dan masyarakat yang dekat dengan dunia tani membuat desa-desa di sini selalu hidup dengan aktivitas bercocok tanam. Sayangnya, potensi itu belum semuanya diolah maksimal. Banyak hasil tani berhenti hanya sebagai konsumsi rumah tangga, belum naik kelas ke produk bernilai tambah. Di sinilah peran Kelompok Wanita Tani (KWT) muncul, bukan sekadar wadah kumpul ibu-ibu, melainkan motor penggerak ekonomi desa.
Contoh nyata bisa kita lihat dari sekelompok ibu rumah tangga dan pekerja di Purbalingga. Dari pekarangan sederhana, mereka menanam lidah buaya. Awalnya, hanya untuk kebutuhan pribadi. Namun, dengan kreativitas dan kerja bareng, mereka mengolahnya menjadi produk minuman bernama Natabaya. Produk ini tidak hanya enak diminum, tapi juga bukti bahwa sumber daya lokal bisa diubah jadi peluang usaha.
Aktivitas mereka sederhana tapi bermakna. Lidah buaya yang siap panen dibawa ke tempat produksi, dibersihkan, dipotong, lalu diolah secara manual menjadi minuman. Meski belum serba modern, justru dari proses itulah lahir kebersamaan. Nama Natabaya dipilih agar mudah diingat sekaligus menunjukkan identitas lokal.
Manfaat KWT terasa nyata. Secara ekonomi, para anggotanya mendapat tambahan penghasilan. Secara sosial, mereka punya ruang untuk belajar bersama, saling menguatkan, dan tampil lebih percaya diri. Para perempuan desa yang dulunya enggan keluar rumah kini berani berorganisasi dan ikut menggerakkan roda ekonomi.
Lebih jauh lagi, gerakan KWT selaras dengan Sustainable Development Goals (SDGs). Pemberdayaan perempuan masuk ke tujuan nomor 5, sementara pertumbuhan ekonomi inklusif ada di nomor 8. Artinya, KWT di Purbalingga bukan hanya urusan lokal, tapi juga bagian dari agenda pembangunan global.
Tentu, jalannya tidak selalu mulus. Ada tantangan besar yang dihadapi: sertifikasi halal produk yang belum mudah dijangkau, keterbatasan alat produksi sehingga kapasitas masih kecil, hingga akses pemasaran yang baru seputar desa atau kabupaten. Inilah tantangan umum yang juga dirasakan banyak KWT lain di Purbalingga.
Di sinilah pentingnya kolaborasi. Universitas bisa masuk dengan riset dan pendampingan. Pemerintah daerah bisa bantu permodalan, sertifikasi halal, hingga promosi lewat pameran. Pihak swasta, lembaga keuangan, sampai komunitas kreatif bisa jadi mitra strategis. Dengan dukungan multipihak, produk KWT bisa naik kelas, menembus pasar lebih luas.
Jika setiap desa punya KWT yang aktif, dampaknya akan luar biasa. Produk dari pekarangan bisa berkembang jadi usaha menengah, bahkan industri desa. Lapangan kerja terbuka, ekonomi tumbuh, dan masyarakat ikut merasakan manfaatnya.
Membangun ekonomi desa ternyata tidak harus dari proyek besar. Cukup dari pekarangan rumah, dari tangan-tangan ibu rumah tangga yang berani mencoba, sebuah gerakan bisa lahir. KWT di Purbalingga sudah membuktikan. Kini, tugas kita adalah memastikan mereka tidak berjuang sendirian.