Oleh: Rujito, M.Sos
Kamis, 11 September 2025, Pengurus MUI Banyumas akan dilantik di Pendopo Si Panji. Insyaallah termasuk saya, menjadi Sekretaris Komisi Informatika, Humas, dan Media Massa MUI Banyumas. Ada rasa syukur, tentu. Tapi di balik itu, terselip keresahan pribadi yang tak bisa saya sembunyikan: sejauh apa Majelis Ulama Indonesia (MUI) benar-benar dekat dengan umat, khususnya anak muda?
Data demografi menyebutkan lebih dari 50 persen penduduk Indonesia adalah generasi milenial dan Gen-Z. Banyumas tentu bagian dari angka besar itu. Namun faktanya, jarak MUI dengan generasi ini terasa begitu lebar. Padahal, salah satu tugas utama MUI adalah khidmatul ummah — melayani umat. Bagaimana bisa melayani jika MUI belum sepenuhnya memahami karakter umat yang dilayani, terutama generasi muda yang menjadi mayoritas?
Saya sering gelisah melihat kenyataan ini. Di satu sisi, MUI kerap tampil dengan wajah formal dan kaku. Di sisi lain, anak muda hidup di ruang yang cair, cepat, dan penuh kreativitas. Mereka lebih mudah percaya pada konten TikTok berdurasi 30 detik daripada seminar 3 jam. Ini bukan berarti mereka abai, tetapi cara menerima pesan yang berbeda.
Di titik inilah saya merasa MUI, khususnya di Banyumas, perlu bertransformasi secara komunikasi. Anak muda tidak bisa hanya didatangi ketika ada isu kontroversial. Mereka harus dilibatkan sejak awal dalam kampanye isu-isu krusial: literasi digital, bahaya narkoba, moderasi beragama, hingga kepedulian lingkungan. Dengan keterlibatan langsung, anak muda tidak hanya jadi objek dakwah, tetapi juga subjek yang ikut bergerak.
Lalu bagaimana caranya? Menurut saya, ada dua langkah strategis. Pertama, mengubah pendekatan media komunikasi. MUI Banyumas harus berani masuk ke platform yang paling akrab dengan anak muda: Instagram, TikTok, atau bahkan YouTube Shorts. Bukan sekadar hadir, tapi kreatif dalam menyajikan konten yang ringan, segar, sekaligus bermakna.
Kedua, membuka ruang kolaborasi. Misalnya, menggandeng komunitas muda di Banyumas untuk membuat konten bersama, diskusi lintas kampus, hingga mengadakan lomba ide kreatif tentang isu kebangsaan. Dengan cara itu, anak muda merasa menjadi bagian dari MUI, bukan sekadar penonton dari kejauhan.
Bayangan saya, MUI Banyumas harus bisa menjadi organisasi yang open source. Artinya, mudah diakses siapa pun, termasuk anak muda. Siapapun bisa tahu program, agenda, dan pesan MUI secara transparan melalui kanal-kanal komunikasi yang mereka sukai. Jika MUI mampu membangun kedekatan itu, barulah kita bisa menyebut diri benar-benar sedang khidmatul ummah.
Sebagai orang yang akan mengemban amanah di bidang informasi dan media, saya berharap bisa ikut mendorong perubahan kecil itu. Harapan saya sederhana: semoga MUI Banyumas hadir lebih ramah, dekat, dan relevan bagi anak muda. Karena tanpa mereka, khidmat kita pada umat hanya akan terasa separuh jalan.
*) Penulis adalah Dosen UIN Saizu Purwokerto, Sekretaris Komisi Informatika, Humas dan Media Massa 2025-2030. Tulisan ini merupakan refleksi pribadi menyambut pelantikan MUI Kab. Banyumas.