PURWOKERTO — Lembaga Sensor Film Republik Indonesia (LSF RI) menggelar Sosialisasi Gerakan Nasional Budaya Sensor Mandiri di Purwokerto. Kegiatan ini bertujuan membangun kesadaran masyarakat, terutama generasi muda, agar cerdas dalam memilih tontonan yang sesuai dengan nilai budaya bangsa dan usia penonton.
Dalam sosialisasi bertema “Sensor Mandiri dalam Budaya Audio Visual di Era Digital”, berbagai pemikiran kritis mencuat, menyentuh isu kebebasan berekspresi, peran keluarga, hingga batasan regulasi dalam penyensoran film dokumenter yang memuat kritik sosial dan pemerintah.
Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Banyumas, Joko Wiyono, menekankan pentingnya ketahanan budaya dalam menghadapi derasnya arus konten digital. Ia menyatakan, “Menguatkan generasi muda yang luar biasa, 10 sampai 20 tahun ke depan, anak-anak Indonesia harus menjadi penguat bangsa yang kaya rohani. Mereka harus punya kesadaran tinggi dalam dinamika berpikir bebas, agar tetap bisa memilih tontonan yang memberikan tuntunan, ” ungkapnya.
Sementara itu, Guru Besar Ilmu Dakwah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Prof. Dr. Abdul Wahid, mengulas perubahan lanskap kreativitas perfilman dari masa Orde Baru hingga era digital saat ini.
“Ketika tekanan sensor sangat tinggi seperti di era Orde Baru, justru nilai estetis dan kreativitas seni tumbuh subur. Para kreator terlatih menyampaikan pesan melalui simbol, estetika, dan bahasa. Tapi hari ini, di era kebebasan, semua orang menjadi kreator — dan ironinya, nilai-nilai estetis justru tumpul,” kata Abdul Wahid dalam paparannya.
Ia juga menyoroti pentingnya penguatan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman dalam konteks kebebasan berekspresi. Menurutnya, sensor mandiri bukan berarti pembiaran, tetapi menanamkan pemahaman mulai dari lingkungan keluarga.
“Sensor mandiri harus dibangun secara *bottom-up*. Karena seni lahir dari masyarakat, maka ia terikat dengan simpul agama, budaya, dan kebangsaan. Ketiganya hanya hidup bila pendidikan dimulai dari keluarga,” jelasnya.
Namun demikian, suara kritis juga muncul dari pegiat film dokumenter asal Banyumas, Wasis Wardhana. Ia mempertanyakan batasan sensor, khususnya terhadap film-film dokumenter yang mengandung kritik terhadap kebijakan pemerintah.
“Saya cuma ingin tahu, seberapa jauh batasan sensor yang dilakukan oleh LSF dalam konteks kritik pemerintah, kritik kebijakan, dan kritik sosial melalui film dokumenter?” tanya Wasis. Ia mencontohkan karya-karya seperti Sexy Killer dan Dirty Vote yang menurutnya menjadi ruang ekspresi publik dan jarang masuk jalur bioskop konvensional.
“Bagi sebagian orang, sensor hanya diartikan sebatas menyaring konten pornoaksi atau pornografi. Tapi bagaimana dengan kebebasan berpikir dalam konteks kritik sosial?” tambahnya.
Sosialisasi ini menjadi ruang diskusi hangat mengenai tantangan sensor di era digital, di mana batas antara edukasi dan pembatasan sering kali kabur. LSF RI diharapkan mampu meneguhkan perannya sebagai lembaga penjaga nilai, tanpa mengabaikan kebebasan berekspresi yang menjadi hak warga negara.