JAKARTA – Menanggapi berita yg dirilis oleh media kompas, pada tanggal 20 oktober 2025 dimana Kemenkes akan membuka 500 Rumah Sakit jadi penyelenggara pendidikan dokter spesialis. Nanang Sugiri dari tim kuasa para pemohon perkara Nomor 143/PUU-XXIII/2025 Menyampaikan:
Reformasi sejati seyogyanya dimulai dari penegasan norma. pendidikan tinggi hanya bisa kokoh bila berdiri di atas universitas, bukan di bawah bayang-bayang birokrasi pelayanan.
Ketika Mahkamah Konstitusi masih memeriksa perkara Nomor 143/PUU-XXIII/2025 — uji materiil Pasal 187 ayat (4) dan Pasal 209 ayat (2) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, publik dikejutkan oleh langkah Kementerian Kesehatan yang mengumumkan pembentukan ratusan Rumah Sakit Pendidikan Penyelenggara Utama (RSPPU). Adalah sebuah “gebrakan” yang tampak heroik di permukaan, namun menyimpan persoalan mendasar dalam hal norma, etika politik hukum, dan tata kelola pendidikan tinggi.
Inti dari persoalan uji materi di MK ialah siapa penyelenggara utama pendidikan dokter spesialis, apakah tetap perguruan tinggi sebagaimana diatur dalam UU Pendidikan Tinggi Nomor 12 Tahun 2012, ataukah kini dapat pula dilakukan oleh rumah sakit melalui sistem hospital-based education sebagaimana dibuka oleh Pasal 187 ayat (4) UU Kesehatan.
Dalam sidang pada 20 Oktober 2025, Hakim Konstitusi Prof. Saldi Isra menyoroti ketidakjelasan norma ini. Menurutnya, penggunaan frasa _“rumah sakit pendidikan dapat menjadi penyelenggara utama”_ menimbulkan kontradiksi: di satu sisi, penyelenggara utama seharusnya tunggal; di sisi lain, kata _”dapat”_ menunjukkan pilihan ganda.
Ketidakpastian semacam ini berpotensi menabrak asas kepastian hukum dan merusak sistem pendidikan tinggi yang sudah mapan selama puluhan tahun.
Pendidikan dokter spesialis bukan sekadar pelatihan klinis, melainkan pendidikan akademik dan profesi lanjutan yang bertumpu pada riset, inovasi, dan pengembangan ilmu.
Oleh karena itu, penyelenggara utama harus tetap universitas. Rumah sakit betapapun vital perannya hanyalah teaching clinical center, mitra pendidikan klinik di bawah koordinasi perguruan tinggi.
Ketika rumah sakit diberi status penyelenggara utama, posisi universitas terdegradasi menjadi sekadar pelengkap administratif.
Ini menimbulkan konsekuensi serius: hilangnya integrasi akademik, runtuhnya standar mutu ilmiah, dan tergesernya logika pendidikan menjadi logika pelayanan birokratis.
Kemenkes berdalih, pembentukan 500 RSPPU adalah jawaban atas krisis tenaga dokter spesialis di Indonesia yang diperkirakan mencapai puluhan ribu.
Melalui skema baru, calon dokter spesialis tidak lagi membayar biaya pendidikan, melainkan digaji selama menjalani program di rumah sakit berbasis pendidikan. Tujuannya mempercepat produksi spesialis hingga 15 ribu per tahun dan memperluas distribusi hingga ke daerah terpencil.
Namun, waktu dan konteksnya menimbulkan tanda tanya besar. Pengumuman 500 RSPPU dilakukan ketika norma hukumnya masih diuji di Mahkamah Konstitusi.
Langkah ini bukan hanya tidak etis secara politik hukum, tetapi juga bisa dianggap mendahului proses konstitusional.
Pemerintah seolah ingin menciptakan _fait accompli_ fakta di lapangan agar Mahkamah nantinya menghadapi situasi yang sudah terjadi, bukan menilai norma yang masih terbuka untuk dikoreksi.
Selain itu, jumlah 500 RSPPU bukan angka kecil.
Ia menuntut anggaran triliunan rupiah, tenaga pengajar spesialis, sistem akreditasi, serta mekanisme kontrol mutu.
Tanpa kerangka hukum yang jelas, program ini berisiko melahirkan lembaga-lembaga baru yang belum teruji kualitasnya hanya berorintasi memperbanyak kuantitas, tetapi mengorbankan mutu dan integritas sistem pendidikan dokter.
Kebijakan 500 RSPPU menunjukkan gejala inversi politik hukum pendidikan:
bukan norma yang menjadi dasar kebijakan, tetapi kebijakan yang mendikte norma.
Dalam negara hukum, seharusnya setiap perubahan sistem pendidikan tinggi dilakukan melalui revisi undang-undang, bukan melalui *tafsir administratif kementerian*.
Paradoksnya, pemerintah mengklaim ingin menciptakan sistem yang lebih efisien, tetapi justru menimbulkan tumpang-tindih kewenangan antara universitas dan rumah sakit.
Dalam jangka panjang, ini bisa memecah otoritas akademik, memperlemah kolegium profesi, dan mengaburkan arah pembangunan sumber daya manusia kesehatan nasional.
Tujuan memperbanyak dokter spesialis adalah cita-cita yang tidak perlu diperdebatkan.
Yang dipersoalkan adalah cara mencapainya.
Terobosan tanpa dasar hukum hanyalah pragmatisme, bukan reformasi.
Karena itu, pemerintah seharusnya menunda implementasi 500 RSPPU hingga Mahkamah Konstitusi memberi putusan final dan sistem hukum pendidikan tinggi disesuaikan dengan prinsip yang sah.
Jika tidak, maka program ini akan tercatat bukan sebagai inovasi, melainkan sebagai preseden buruk, kebijakan besar yang dijalankan di atas norma yang belum pasti, di tengah peradilan yang belum usai.
Pendidikan dokter spesialis dan subspesialis adalah urusan ilmu, bukan semata administrasi.
Dan ilmu, sebagaimana hukum, tidak boleh tunduk pada kecepatan politik.
Karena itu, arah yang paling rasional adalah menegaskan satu penyelenggara utama adalah universitas sementara rumah sakit menjadi mitra klinik dalam kerangka universitas.
Di tengah euforia “500 RSPPU”, kita justru belajar satu hal: terobosan tanpa dasar hukum yang kokoh hanyalah jalan pintas menuju kekacauan sistemik. Kita tak butuh 500 institusi baru bila yang hilang adalah kepastian, keadilan, dan wibawa ilmu itu sendiri.








