Di tengah derasnya arus informasi hari ini, kita sering mendapati ruang publik dipenuhi perdebatan, bahkan pertengkaran. Media sosial menjadi panggung adu argumen, saling sindir, saling menjatuhkan, dan kadang tak segan melempar ujaran kebencian. Hoaks dan berita bohong bertebaran, direproduksi terus-menerus tanpa jeda. Situasi ini seolah menjauhkan masyarakat dari iklim yang sehat, penuh rasa hormat, dan damai.
Padahal, dalam khazanah Islam, Nabi Muhammad SAW memberi teladan sederhana namun mendalam: tabassam, tersenyum. Ada sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Jabir bin Abdullah, “Rasulullah tidak pernah bertemu denganku kecuali beliau selalu tersenyum kepadaku.” (HR. Bukhari). Dari senyum itu terpancar bukan hanya keramahan, tetapi juga kedalaman hati seorang Nabi yang tahu cara menenangkan jiwa orang lain.
Senyum Nabi bukan senyum politik, bukan pula sekadar basa-basi sosial. Itu adalah cermin hati yang lapang, pikiran yang jernih, dan jiwa yang penuh kasih. Dari hadis ini kita belajar, betapa Nabi adalah sosok panutan yang paripurna. Beliau seorang pemimpin umat, tetapi tetap tampil sebagai manusia biasa yang hangat, bersahabat, dan tidak menciptakan jarak dengan orang-orang di sekitarnya.
Tabassam adalah pesan moral bahwa kebaikan seringkali berawal dari hal kecil. Senyum bisa jadi pintu masuk untuk menumbuhkan rasa percaya, menghentikan pertikaian, dan meredam kebencian. Ia sederhana, tetapi dampaknya meluas. Bagi Nabi, tersenyum bukan tindakan remeh, melainkan ibadah. “Senyummu kepada saudaramu adalah sedekah,” sabda beliau dalam hadis lain (HR. Tirmidzi).
Senyum Nabi adalah bentuk problem solving, bukan problem making. Dengan senyum, beliau menghadirkan suasana positif yang membuka ruang komunikasi. Bukan dengan marah-marah, bukan dengan menuding tanpa henti, apalagi menyulut permusuhan. Karena itu, mengikuti akhlak Nabi berarti menghindarkan diri dari sikap-sikap yang justru menjadikan kita “musuh publik” bagi lingkungan kita sendiri.
Dalam kehidupan berbangsa dan bermasyarakat, banyak orang kerap tampil problematik. Mereka lebih sibuk memperkeruh keadaan ketimbang menenangkan. Bukannya memberi solusi, justru menjadi sumber masalah. Mereka inilah yang bisa disebut “public enemy”, lawan dari semangat tabassam. Sebab Nabi hadir bukan untuk menjadi musuh masyarakat, melainkan pembawa kabar gembira, penebar kebahagiaan, dan perekat harmoni.
Meneladani tabassam bukan sekadar melatih bibir untuk tersenyum. Ia adalah kristalisasi dari hati yang bersih dan pikiran yang jernih. Senyum lahir karena seseorang mampu berprasangka baik (husnudzan), menatap hidup dengan optimisme, dan melihat sesama dengan kasih. Itulah mengapa tabassam lebih dari sekadar ekspresi wajah—ia adalah energi positif yang menular.
Dalam konteks masyarakat hari ini, tabassam bisa menjadi cara menghadirkan “positif vibes” di ruang publik. Kita bisa memulai dari rumah, lingkungan kerja, hingga media sosial. Alih-alih ikut menyebarkan hoaks atau hate speech, mari tebarkan kebaikan, ucapan yang menenangkan, dan sikap yang menyatukan. Bukankah itu lebih sesuai dengan tuntunan Nabi?
Bukan berarti kritik tidak boleh ada. Justru kritik adalah bagian dari tradisi Islam yang sehat. Namun, kritik harus dilakukan dengan bijaksana, terukur, dan tetap konstruktif. Kritik yang disampaikan dengan wajah ramah, hati yang tulus, dan semangat perbaikan akan jauh lebih mengena ketimbang kritik yang lahir dari kemarahan atau kebencian.
Akhirnya, tabassam mengingatkan kita bahwa menjadi Muslim berarti menjadi pribadi yang menghadirkan solusi, bukan masalah. Bukan sumber kegaduhan, tetapi sumber kedamaian. Senyum Nabi adalah simbol sederhana dari akhlak agung yang bisa kita teladani sehari-hari. Mari mulai dari diri sendiri: tersenyum, berpikir positif, dan menjadi pembawa kedamaian di manapun kita berada.
*) Rujito, karib disapa Djito El Fateh. Bisa ditemui di @djitonu (instagram). Sekretaris Komisi Informatika, Humas dan Media Massa 2025-2030 dan tercatat sebagai dosen tamu UIN Saizu Purwokerto.