Oleh: Silvana Amalia Putri. Divisi Litbang Hukum dan politik Tribhata Banyumas, 19 september 2025.
Dari hasil kajian dan analisa Hukum dan politik yang dilakukan oleh Divisi Litbang Tribhata Banyumas selama sepekan terakhir, dikaitkan dengan berbagai sumber, Polemik Peraturan Bupati (Perbup) No. 9 Tahun 2024 tentang tunjangan pimpinan dan anggota DPRD Banyumas telah melampaui sekadar isu teknis hukum. Polemik ini kini berubah menjadi krisis kepercayaan publik terhadap DPRD sebagai lembaga politik maupun Bupati sebagai eksekutif, sekaligus membuka perdebatan soal kualitas DPRD dan eksekutif di Banyumas.
Dari Polemik Regulasi Menuju Krisis Kepemimpinan
Kontroversi tunjangan fantastis yang nilainya berkali-kali lipat dari UMK Banyumas menimbulkan protes keras masyarakat. Angka-angka tunjangan yang sangat tinggi seolah menunjukkan ketidakpekaan DPRD dan eksekutif terhadap situasi sosial-ekonomi warganya sendiri.
Lebih jauh, publik tidak lagi hanya mempermasalahkan angka tunjangan, melainkan juga simbol keberadaan DPRD, yang seharusnya menjadi representasi suara rakyat, kini dipersepsikan sebagai wajah dari kebijakan yang tidak adil.
Dalam politik lokal, krisis legitimasi seperti ini berbahaya. Ia dapat menggerus kewibawaan DPRD dalam menjalankan fungsi pengawasan, legislasi, maupun anggaran. Keputusan DPRD berpotensi dipandang tidak murni demi kepentingan publik, melainkan demi kepentingan elit.
Dimensi Hukum: Keteraturan Atau Ketidakpastian?
Perbup 9/2024 secara formal sah, namun dipersoalkan dari sisi asas hukum:
1. Asas Kewajaran: Besaran tunjangan tidak sebanding dengan kondisi ekonomi masyarakat.
2. Asas Kepastian Hukum: Regulasi dianggap memiliki potensi retroaktif, menciptakan ketidakpastian dalam tata kelola keuangan daerah.
3. Asas Transparansi: Proses appraisal dan penetapan angka tidak sepenuhnya terbuka kepada publik.
Di sinilah DPRD Banyumas gagal menunjukkan peran sebagai penjaga kepastian hukum. Padahal, fungsi legislatif adalah memastikan regulasi yang dikeluarkan tidak bertentangan dengan norma hukum dan rasa keadilan rakyat.
Dimensi Politik: Keterputusan Dengan Konstituen
Fenomena tunjangan fantastis ini menunjukkan jurang representasi antara rakyat dan wakilnya. DPRD seolah hidup di ruang elit yang terputus dari realitas sosial.
– Masyarakat Banyumas harus bertahan hidup dengan UMK Rp 2,2 juta.
– Ketua DPRD menerima tunjangan lebih dari Rp 57 juta per bulan hanya untuk perumahan dan transportasi.
Ketimpangan inilah yang melahirkan kemarahan publik. Politik kehilangan makna representasi, berubah menjadi arena pembagian privilese. Ketua DPRD, sebagai wajah lembaga, menjadi simbol dari keterputusan ini.
Penyegaran pimpinan lembaga: Keniscayaan, Bukan Sekadar Opsi
Di tengah krisis ini, penyegaran kepemimpinan Ketua lembaga politik menjadi langkah strategis yang sulit ditawar.
1. Memulihkan Kepercayaan Publik: lembaga politik butuh figur baru yang mampu merespons keresahan rakyat, bukan sekadar bertahan dengan status quo.
2. Mengembalikan Marwah Lembaga politik harus kembali pada fungsinya sebagai pengawas eksekutif, bukan bagian dari kartel kekuasaan yang membagi keuntungan.
3. Membangun Politik Etis: Pergantian Ketua lembaga politik dapat menjadi momentum menegakkan standar moral baru dalam tata kelola politik lokal.
Penyegaran bukan sekadar soal “siapa yang duduk”, tetapi soal bagaimana lembaga politik menunjukkan kemauan memperbaiki diri dan membuka ruang partisipasi rakyat.
Usulan Tindakan Konkret
– Audit Independen: Pemeriksaan menyeluruh atas Perbup 9/2024 dari aspek hukum, anggaran, dan keadilan sosial.
– Dialog Terbuka: Forum yang melibatkan Pemkab, DPRD sebagai lembaga politik, akademisi, dan masyarakat sipil agar keputusan revisi regulasi benar-benar inklusif.
– Evaluasi Kepemimpinan: Fraksi-fraksi di DPRD perlu mengevaluasi kepemimpinan Ketua saat ini, termasuk kemungkinan rotasi atau pergantian.
– Revisi Regulasi: Perubahan Perbup harus dilakukan secara transparan, berbasis data, dan memperhatikan kondisi ekonomi rakyat.
– Standarisasi Nasional: Perlu dorongan agar Kemendagri meninjau ulang standar tunjangan DPRD di seluruh Indonesia, agar tidak terjadi disparitas ekstrem antar-daerah.
Kesimpulan: Momentum Reformasi Politik Lokal
Polemik Perbup 9/2024 hanyalah pintu masuk. Masalah yang lebih besar adalah hilangnya kepercayaan rakyat terhadap lembaga politik di daerah. Tanpa penyegaran kepemimpinan, DPRD Banyumas akan terus menghadapi krisis legitimasi yang menggerus wibawa lembaga dan menghambat jalannya pemerintahan daerah.
Penyegaran pimpinan lembaga politik adalah momentum reformasi — untuk menegaskan bahwa politik lokal tidak boleh menjadi sekedar ajang berburu fasilitas, melainkan benar-benar instrumen keadilan sosial dan demokrasi yang bermartabat.