PURWOKERTO —Sebuah pendekatan baru dalam dunia pendidikan Islam tengah dikembangkan sejak tahun 2005 oleh Prof. Dr. KH. Fathul Amin Aziz. Melalui konsep Pesantren Hybrid, ia memperkenalkan integrasi antara ibadah dan muamalah sebagai satu kesatuan utuh yang tidak terpisahkan antara dunia dan akhirat.
“Pesantren Hybrid ini kami gagas sebagai respons terhadap cara berpikir yang memisahkan antara urusan dunia dan akhirat. Padahal, keduanya adalah satu kesatuan yang saling terhubung,” ujar Prof. Fathul Amin.
Konsep utama dari Pesantren Hybrid ini menekankan bahwa dalam setiap bentuk ibadah selalu terkandung nilai-nilai muamalah, dan sebaliknya, dalam muamalah juga mengandung unsur ibadah.
Ia mencontohkan salat yang secara langsung maupun tidak langsung memiliki nilai ekonomi — mulai dari pembangunan masjid, pengadaan sajadah, hingga pakaian untuk menutup aurat.

Sementara dalam aktivitas bisnis atau kegiatan sosial, jika dilandasi niat baik seperti meningkatkan zakat umat atau menyebarkan kesejahteraan, maka hal tersebut otomatis menjadi amal ibadah.
“Bahkan berpikir pun harus punya dasar konstruksi spiritual. Ketika kita membangun tempat salat yang nyaman, itu muamalah yang membawa nilai ibadah. Ketika berdagang tapi diniatkan untuk kemaslahatan umat, itu juga ibadah,” jelasnya.
Di pesantren ini, pendekatan yang digunakan bukan semata-mata bersifat teoritis. Santri diajak langsung mempraktikkan integrasi nilai itu dalam kehidupan sehari-hari, terutama melalui pengelolaan zakat.
Menurut Prof. Fathul, menghitung dan menyalurkan zakat merupakan bagian penting dari etika umat Islam yang sering diabaikan.
“Banyak orang hanya menghitung zakat tapi tidak menyalurkan. Ada pula yang menyalurkan tapi tidak menghitung dengan benar. Di pesantren ini, keduanya kita tekankan: belajar menghitung dengan benar dan melaksanakannya secara tepat,” tegasnya.
Model pembelajaran ini diperkuat dengan dua pendekatan: sosiopreneur dan teopreneur. Santri dilatih untuk menjadi pelaku usaha yang tidak hanya mengejar keuntungan duniawi, tetapi juga mengedepankan nilai spiritual dan kebermanfaatan sosial.
Pesantren ini bernama Elfira, yang tidak hanya menjadi tempat mengaji kitab, tetapi juga membentuk cara berpikir modern yang terintegrasi dengan nilai-nilai Islam.
Prof. Fathul berharap, melalui model Pesantren Hybrid ini, santri tidak hanya menjadi ahli agama, tapi juga pelaku perubahan yang bisa memberi manfaat nyata bagi umat.
“Khairunnas anfa’uhum linnas — sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi sesama. Dan itulah yang sedang kami upayakan melalui pesantren ini,” pungkasnya.