PURWOKERTO — Di tengah arus digitalisasi dan menurunnya minat masyarakat terhadap sastra, Sanggar Samudra—sebuah komunitas seni yang berbasis di Purwokerto—menggelar pertunjukan sastra bertajuk Mengenang WS Rendra sebagai upaya menghidupkan kembali denyut kehidupan sastra di Indonesia.
Acara ini digelar tepat pada peringatan 16 tahun wafatnya WS Rendra, maestro sastra dan teater Indonesia, dan berlangsung meriah dengan dihadiri berbagai komunitas sastra, pegiat budaya, mahasiswa, hingga pelajar. Tak hanya dari dalam negeri, dukungan juga datang dari mahasiswa mancanegara, seperti dari, Saudi Arabia, Madagaskar, Yaman, dan Mali.
Salah satu tamu asing, Taufi, mahasiswa asal Mali, mengaku sangat menikmati acara tersebut meskipun keterbatasan bahasa menjadi tantangan tersendiri. “Saya sangatlah senang dengan acara ini. Meskipun saya tidak begitu lancar dalam berbahasa Indonesia, tapi saya sangat menikmati,” tuturnya dengan penuh antusias.
Taufi bahkan mengutip sebuah ungkapan bijak dalam bahasa Prancis sebagai bentuk dukungan terhadap Sanggar Samudra: “Tout peut disparaître du français, sauf la culture.” yang berarti “Segala hal bisa lenyap kecuali budayanya.” Ungkapan ini ia dedikasikan sebagai semangat agar Sanggar Samudra terus melestarikan budaya sebagai kekayaan bangsa.
Tak hanya itu, komunitas sastra Katasapa dari Purbalingga turut memberikan penampilan khusus dengan membacakan puisi legendaris WS Rendra berjudul Kupanggil Namamu. Dalam kesempatan tersebut, Trisnanto, ketua Dewan Kesenian Kabupaten Purbalingga yang juga mewakili komunitas Katasapa, menyampaikan apresiasinya atas konsistensi Sanggar Samudra dalam menjaga nyala sastra di tengah minimnya ruang dan perhatian.
“Sastra bukan hanya ekspresi seni, tetapi juga simbol kemajuan berpikir dan berkembangnya peradaban manusia. Karena itu, penting bagi kita semua untuk terus menghidupkannya,” ujar Trisnanto dalam sambutannya.
Pertunjukan ini menjadi simbol perlawanan terhadap pudarnya eksistensi dunia sastra. Di tengah era media sosial dan hiburan instan, panggung-panggung pertunjukan puisi dan koran-koran sastra nyaris sepi. Namun Sanggar Samudra menunjukkan bahwa semangat berkarya dan mencintai budaya tidak pernah benar-benar mati.
Dengan semangat lintas budaya dan lintas generasi, pertunjukan sastra ini menjadi bukti bahwa sastra masih memiliki tempat di hati banyak orang—bahkan hingga ke penjuru dunia. Dukungan yang datang dari berbagai pihak menjadi penyemangat agar pertunjukan serupa terus digelar dan menjadi ruang ekspresi bagi para pencinta kata.
Puluhan Komunitas dan Tokoh Hadiri Undangan
Kegiatan sastra bertajuk Mengenang WS Rendra yang digelar Sanggar Seni Samudra banjir dukungan dari berbagai elemen. Sedikitnya 50 undangan telah dikonfirmasi hadir, mulai dari tokoh seni, komunitas teater, organisasi kepemudaan, hingga lembaga pendidikan.
Panitia mencatat, sejumlah nama penting hadir diantaranya, DKKB (Dewan Kesenian Kabupaten Banyumas), Teater Tubuh, RKWK, Teater Perisai, serta komunitas anak perisai.
Tak hanya dari kalangan seniman, dukungan juga datang dari dunia pendidikan. Sejumlah sekolah dan organisasi guru seperti Teater SMA 3 dan SMA 4 Purwokerto, SMK Negeri 1 Purwokerto, serta Ketua MGMP Bahasa Indonesia SMA dan SMK. Bahkan, Ketua MGMP tingkat SMP dan Ketua Literasi Banyumas turut dirangkul untuk membangun semangat literasi melalui kegiatan ini.
Organisasi kemasyarakatan pun turut mendukung. Ketua GP Ansor Kabupaten Banyumas mengirimkan 10 personel untuk berpartisipasi dalam acara, menandakan bahwa kegiatan ini bukan hanya milik komunitas sastra, tetapi juga mendapat dukungan luas dari ormas keagamaan.
“Ini bentuk gotong royong kebudayaan. Semangat WS Rendra sebagai penyair rakyat hidup kembali melalui solidaritas ini,” ujar Yoga Bagus Wicaksana.
Tak kalah menarik, beberapa komunitas luar daerah juga dilibatkan, seperti Kata Sapa Purbalingga dan Komunitas Penyair Institute (KPI), serta Komunitas Cipta Gembira Indonesia, yang menunjukkan bahwa gaung acara ini menjangkau lebih dari sekadar lingkup lokal Banyumas.
Sementara itu, pengamanan dan kenyamanan acara juga diperhatikan. SMP Negeri 5 Purwokerto telah memberikan izin parkir, dan Bhabinsa Purwokerto Selatan hadir dalam kapasitas pengawasan lingkungan.
Acara yang digelar sebagai bentuk penghormatan kepada WS Rendra, penyair besar Indonesia yang dikenal dengan puisi-puisi perlawanan dan teater humanistiknya.
Selain pertunjukan sastra dan pembacaan puisi, acara juga akan menjadi ajang silaturahmi antar generasi seniman dan penikmat sastra Banyumas.
Tamu Undangan Ambil Bagian Membawakan Puisi WS Rendra
Para tamu undangan yang hadir juga ikut ambil bagian, masing masing membawakan puisi WS Rendra. Coki misalnya, ia membawakan puisi betjudul Gerilya.
Selain itu Joni Jonte dengan gayanya yang khas dan jenaka tak mau ketinggalan. Suasana semakin cair dengan humor humor yang dibawakan. Bahkan ia juga mengajak hadirin sekalian untuk menjalani laku kenthir atau nggemblung alis menggila dalam menghadapi kehidupan.
Namun bukan gila hilang akal melainkan gila dalam perspektif yang lebih optimistis dan konstruktif.
Sementara Edi Romadhon banyak berkisah tentang angkatan pujangga era lama. Edi Romadhon berharap, giat sastra semacam ini mampu melahirkan sastrawan muda.
Ki Tithut yang hadir juga turut membawakan deklamasi, yang disambut hangat dan meriah para penonton.