BANYUMAS – Peraturan Bupati (Perbup) Banyumas Nomor 9 Tahun 2024 tentang Perubahan Kelima atas Peraturan Bupati Nomor 66 Tahun 2017 tentang Hak Keuangan Pimpinan dan Anggota DPRD Banyumas menuai sorotan. Regulasi tersebut diduga melanggar asas fundamental dalam hukum administrasi negara, yakni larangan berlaku surut atau asas non-retroaktif.
Dugaan pelanggaran muncul karena dalam Pasal 13 Ayat (2) Perbup itu ditegaskan bahwa tunjangan perumahan dan transportasi bagi pimpinan serta anggota DPRD dibayarkan terhitung mulai Januari 2024. Padahal, aturan itu baru ditetapkan pada tahun yang sama.
Dalam hukum administrasi negara maupun hukum tata negara, setiap peraturan dilarang berlaku surut. “Asas retroaktif bertentangan dengan prinsip dasar pembentukan regulasi. Peraturan seharusnya hanya berlaku ke depan, bukan ke belakang,” kata Nanang Sugiri SH selaku spengamat hukum tata negara yang juga pendiri Tribhata Banyumas, Selasa (17/9).
Selain asas non-retroaktif, dalam penyusunan peraturan juga terdapat aspek fatsun atau adab. Prinsip itu menghendaki bahwa regulasi harus lahir untuk kepentingan masyarakat luas, bukan demi kepentingan kelompok tertentu. “Kalau terkait tunjangan DPRD, semestinya diberikan kepada anggota yang menjabat setelah peraturan itu ditetapkan, bukan diberlakukan surut,” tambahnya.
Dalam praktik hukum, dikenal asas ex tunc dan ex nunc. Ex tunc berarti sebuah keputusan berlaku sejak awal, seolah-olah kondisi sebelumnya tidak pernah ada. Sementara ex nunc berarti keputusan hanya berlaku sejak saat ditetapkan. “Peraturan bupati tidak boleh diberlakukan secara surut, kecuali ada alasan kuat untuk melindungi hak masyarakat atau mencegah kerugian negara yang lebih besar,” ujar sumber tersebut.
Larangan itu juga ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Jika dibiarkan, kebijakan tersebut berpotensi menimbulkan konsekuensi hukum, termasuk tuduhan perbuatan melawan hukum dan kerugian keuangan negara.
Sejumlah kalangan mendesak agar Perbup Nomor 9 Tahun 2024 segera dievaluasi. “Jika tidak, publik bisa menilai eksekutif membiarkan aturan yang cacat secara hukum. Ini berbahaya bagi kredibilitas pemerintah daerah dan bisa memicu persoalan hukum di kemudian hari,” ujar seorang pemerhati kebijakan publik Banyumas.