BANYUMAS — Musyawarah Antar Desa (MAD) Khusus di Kecamatan Jatilawang, Kabupaten Banyumas, Selasa (18/6/2025), mendadak memutuskan pemberhentian Direktur BUMDesma Jati Makmur, Venty Krisyanti. Keputusan yang dianggap janggal ini memunculkan spekulasi bahwa konflik kepentingan dan tarik-menarik kekuasaan.
Tak hanya mengundang protes dari Venty, keputusan ini juga menyingkap wajah lain tata kelola BUMDesma—lembaga ekonomi yang seharusnya dijalankan secara kolektif dan transparan—namun justru disusupi oleh kepentingan elit lokal.
“Saya tidak pernah diundang, tidak dikonfirmasi, tiba-tiba diberhentikan. Ini bukan sekadar pelanggaran prosedur, tapi bentuk pengabaian terhadap etika,” ujar Venty, dengan nada getir.
Venty menuding pemberhentian dirinya tidak hanya melanggar Pasal 9 dan Pasal 11 AD/ART BUMDesma, tapi juga berpotensi menjadi preseden buruk bagi kemandirian desa. Apalagi, ia menyebut capaian selama kepemimpinannya cukup signifikan: dana hibah Rp 3,1 miliar berkembang menjadi Rp 22,8 miliar.

Sebaliknya, isu kerugian Rp1,2 miliar yang disebut-sebut sebagai alasan pencopotan, dibantahnya. Venty menyebut kasus tersebut sedang ditangani aparat hukum dan berasal dari penyimpangan di tingkat kelompok, bukan dari manajemen pusat BUMDesma.
Kuasa hukum Venty, H. Djoko Susanto, SH, mencium adanya tekanan politik yang kuat dalam proses pemberhentian ini. Ia menyebut MAD Khusus yang digelar tidak memenuhi unsur sah sebagaimana diatur AD/ART, khususnya Pasal 13 ayat (2), yang menyatakan forum semacam itu hanya bisa digelar atas permintaan Dewan Penasihat atau Direktur.
“Forum ini ilegal. Kami curiga ada intervensi oknum dan dugaan pungli yang menyertai. Kami akan lapor ke PTUN, dan kami bawa kasus ini ke KPK,” kata Djoko.
Langkah hukum tengah disiapkan. Selain gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara Semarang dan Pengadilan Negeri, pihak Venty akan membuka dugaan praktik pungutan liar kepada Komisi Pemberantasan Korupsi dan Direktorat Kriminal Khusus Polda Jawa Tengah.
Fenomena ini menunjukkan betapa rawannya demokrasi lokal jika tidak dibarengi dengan integritas dan mekanisme kontrol. Ketika kepemimpinan desa dan lembaga ekonomi rakyat justru menjadi ajang perebutan kuasa, rakyat desa—yang seharusnya diuntungkan dari keberadaan BUMDesma—justru menjadi korban diam.
Apakah pemberhentian ini semata untuk menegakkan etika tata kelola? Ataukah justru bagian dari agenda tersembunyi untuk menguasai pundi-pundi ekonomi desa?
Kini, publik menunggu: apakah Pemerintah Kabupaten Banyumas akan turun tangan, atau membiarkan konflik ini menjadi bara dalam sekam yang membakar kepercayaan terhadap program pembangunan desa itu sendiri.