BANYUMAS – Di tengah arus modernisasi yang kian deras, warga Desa Panusupan, Kecamatan Cilongok, Kabupaten Banyumas, memilih jalan berbeda: memeluk tradisi sebagai jalan hidup dan masa depan. Melalui gelaran Sedekah Bumi dan Festival Budaya Panusupan yang akan berlangsung pada 7–12 Juli 2025, desa ini tak hanya merayakan syukur, tapi juga mempertegas jati diri budaya dan membuka peluang baru di sektor pariwisata.
Rangkaian acara dibuka dengan ziarah makam leluhur dan doa bersama pada Senin Kliwon. Namun tak berhenti di tataran spiritual, panitia mengemas rangkaian tradisi ini dengan sentuhan kekinian. Pertunjukan rakyat seperti kuda lumping, hadroh, barongsai, hingga konser nostalgia dijadwalkan meramaikan desa selama enam hari berturut-turut.
“Bukan hanya melestarikan, tapi menghidupkan kembali semangat desa,” kata Novi Aji, Ketua Panitia, Selasa (17/6). Menurutnya, acara ini menjadi titik temu antara generasi tua dan muda dalam merawat identitas Panusupan sebagai desa budaya.
Festival ini juga menyimpan pesan strategis. Dalam diamnya, Panusupan sedang menata langkah menjadi destinasi wisata budaya berbasis komunitas. Gelaran Kakang Mbekayu Panusupan, penampilan pemuda lokal, hingga pagelaran wayang kulit oleh dalang muda Ki Bima Setya Aji, menandai keberanian desa ini memberi ruang besar kepada anak muda untuk ikut merumuskan masa depan budaya mereka.
“Kalau tidak dimulai dari desa, dari mana lagi budaya itu hidup?” ujar Novi.
Puncak acara pada Sabtu Kliwon ditandai dengan ruwatan bumi—ritual pembersihan batin dan alam—yang bukan hanya simbolik, tapi jadi pernyataan: Panusupan percaya bahwa kekuatan desa terletak pada akar budayanya.
Dengan modal semangat kolektif dan pelibatan warga lintas generasi, Panusupan menunjukkan bahwa menjaga tradisi bukan berarti menolak perubahan. Justru sebaliknya—ia bisa menjadi jalan menuju masa depan yang lebih berwarna, berakar, dan berdaya.