Berita Terbaru Seputar Purwokerto dan Banyumas Sekitarnya
  • Terbaru
  • Banyumasiana
  • Pilihan
Tidak ditemukan hasil
Lihat semua salu
Berita Terbaru Purwokerto dan Banyumas Raya
  • Terbaru
  • Banyumasiana
  • Pilihan
Tidak ditemukan hasil
Lihat semua salu
Berita Terbaru Purwokerto dan Banyumas Sekitarnya

Mengenang WS Rendra Sebelum Kiamat Sastra

Seruan Sastra di Tengah Gempuran Era Digital

Penulis Tim Redaksi
Rabu, 30 Juli 2025
Topik Purwokerto
A A

PURWOKERTO – Di tengah derasnya arus digitalisasi dan budaya instan yang menggerus kedalaman rasa manusia, Sanggar Seni Samudra menggugah kembali memori kolektif bangsa terhadap sosok Willibrordus Surendra Broto Narendra—yang lebih dikenal sebagai WS Rendra, atau sang Burung Merak. Dalam rangka mengenang maestro sastra yang wafat pada 6 Agustus 2009 silam, Dia dilahirkan di Surakarta, 7 November 1935 dan  meninggal di Depok, Jawa Barat, pada 6 Agustus 2009 dalam usia 73 tahun. Sanggar Seni Samudra menggelar acara pembacaan puisi di Jl. Prof. M. Yamin, Kelurahan Karangklesem, Kecamatan Purwokerto Selatan, bertepatan dengan hari wafatnya Rendra, 6 Agustus 2025.

Acara ini menjadi bentuk perlawanan sunyi terhadap apa yang oleh banyak kalangan disebut sebagai “kiamat sastra”—masa ketika karya sastra kian terpinggirkan oleh budaya serba cepat dan instan. WS Rendra, yang dikenal lewat karya-karya puitis dan panggung teater yang penuh energi, perlahan memudar dari ingatan generasi muda. Generasi Z dan Alpha kini lebih akrab dengan konten-konten pendek di media sosial daripada bait-bait puisi yang menggugah jiwa.

Moderenisasi zaman atau yang orang lebih senang menyebut era digital adalah zaman dimana segala sesuatu dituntut cepat, mudah dan praktis namun segala kemudahan tersebut ternyata melahirkan efek gelap yang merubah cara dan selera masyarakat salah satunya di bidang sastra. 

BacaJuga

658 Warga Binaan Lapas Purwokerto Dapat Layanan Pengobatan Gigi Gratis

Luminor Hotel Purwokerto Hadirkan Nostalgia Seru Lewat “Indonesia 80”

Sastra menjadi bagian yang mulai di tinggalkan masyarakat khususnya gen z dan gen alpha. Jika di era sebelumnya ada istilah “Malas Membaca” maka di era digital lahirlah istilah “Malas Menonton” istilah ini adalah suatu realitas yang memperihatinkan, jangankan untuk membaca, untuk sekedar menonton sebuah video secara utuh tanpa skip saja adalah sesuatu yang berat, dan tanpa sadar akhirnya cara hidup seperti ini menyebabkan manusia kehilangan “Rasa”. 

Bayangkan betapa bahanya manusia yang kehilangan rasa, jika rasa yang merupakan kompas kehidupan dan jelas menuntun kita pada hidup yang penuh makna tiba tiba di hilangkan maka kehidupan menjadi sangatlah hambar. 

Faisal Jais (31), atau akrab disapa Jayeng, Ketua Harian Sanggar Seni Samudra, menegaskan pentingnya menjaga keseimbangan antara kemajuan teknologi dan kebudayaan sastra.

“Kemajuan suatu peradaban ditandai dengan kemajuan sastra dan teknologi. Tidak bisa teknologi mendominasi sastra atau sebaliknya. Semuanya harus maju bersama. Jika hari ini teknologi berkembang pesat, maka sastra juga harus terus berkembang,” ungkap Jayeng.

Pandangan senada juga disampaikan oleh Yudiono Aprianto (38), seorang pengamat sastra yang juga mengajar di sebuah SMK di Purwokerto. Menurutnya, kondisi hari ini sangat memprihatinkan.

“Sastrawan sekaliber WS Rendra sudah banyak yang tak mengenalinya. Generasi Z dan Alpha lebih terbuai oleh kemegahan teknologi dan cenderung meninggalkan sastra. Ini sangat bertolak belakang dengan misi kejayaan Indonesia. Dalam lagu *Indonesia Raya* tertulis jelas: *Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya*. Bagaimana jiwa akan terbangun jika hanya terbuai pembangunan fisik?” katanya dengan nada prihatin.

Yudi mengapresiasi inisiatif Sanggar Seni Samudra sebagai upaya menumbuhkan kembali kecintaan terhadap sastra.

Keprihatinan atas fenomena ini mendorong Sanggar Seni Samudra untuk terus mengkampanyekan gerakan cinta sastra, salah satunya dengan mengadakan acara pembacaan puisi karya WS Rendra. 

“Sanggar Seni Samudra sangat luar biasa telah menginisiasi kegiatan mengenang WS Rendra, seorang maestro yang telah banyak berjasa mewarnai wajah kesusastraan di Indonesia. Semoga ke depan, lebih banyak lagi gerakan-gerakan seperti ini,” tambahnya.

Acara ini diharapkan menjadi titik nyala baru bagi kebangkitan sastra di tengah generasi muda. Sebuah peringatan bahwa tanpa rasa, hidup hanya menjadi deretan rutinitas mekanis tanpa makna. Dan sastra—seperti halnya puisi-puisi Rendra—adalah salah satu jalan untuk menghidupkan kembali rasa itu.

 

BagikanBagikanPinBagikanBagikanKirim
Sebelumnya

Rutan Banyumas Gelar Sharing Kehumasan untuk CASN

Selanjutnya

Street Coffee Bakal Jadi Tren Baru, Simpel dan Sederhana Namun Tetap Istimewa

Sorotan

Sejarah Koperasi di Indonesia

Dari Purwokerto ke Indonesia: Sejarah Panjang Koperasi yang Mengubah Bangsa

Rekomendasi Kuliner Khas Purwokerto dan Baturraden

Kelezatan Kuliner Tradisional Baturraden: Nuansa Pedesaan Hingga Tengah Hutan

Purwokerto Kota Nyaman

Kenapa Purwokerto Kian Dikenal Bukan Kota yang Istimewa, Tapi Sebagai Kota yang Nyaman?

Populer Minggu ini

1.180 Honorer R4 Banyumas Desak Pemkab Segera Ajukan Usulan Menjadi P3K

Jalan Sehat Meriahkan HUT ke-80 RI di Desa Sudagaran, Roti 17 Meter Jadi Ikon Acara

Kampelmas: Inovasi UIN Saizu Purwokerto Mengubah Wajah KKN Indonesia

Pilihan Pembaca

Purwokerto Ke Jogja Berapa Jam

Purwokerto Ke Jogja Berapa Jam? Ini Jawabannya!

Apakah Banyumas termasuk Purwokerto

Apa Bedanya Purwokerto dan Banyumas? Ini Penjelasannya!

Sambut Harlah Ke-91, Ansor Banyumas Marathon Ziarah dan Sowan Masyayikh

  • Profil
  • Kebijakan Privasi
  • Syarat Ketentun
suarabanyumas.co.id ©2025 

Tidak ditemukan hasil
Lihat semua salu
  • Terbaru
  • Banyumasiana
  • Pilihan

suarabanyumas.co.id ©2025 

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In