BANYUMAS – Kerusakan ekosistem sungai di Kabupaten Banyumas kian mengkhawatirkan. Pemerhati sungai Eddy Wahono menilai bahwa konservasi sebagai pilar utama pengelolaan sungai justru mengalami kerusakan paling parah, berdampak pada pendangkalan sungai hingga ancaman banjir yang semakin sering terjadi.
“Konservasi sungai sebagai pilar utama justru paling rusak. Daerah-daerah resapan sudah rusak dengan dalih apapun, sehingga menyebabkan banjir dan kerusakan lainnya,” kata Eddy dalam wawancara dengan RRI pada Kamis (24/7/2025).
Ia mengungkapkan, rusaknya kawasan resapan air memperbesar daya rusak air saat musim hujan. Ia mengibaratkan kondisi ini seperti kepala yang botak—air langsung mengalir tanpa diserap terlebih dahulu oleh vegetasi atau tanah.
Tidak hanya itu, Eddy juga menyoroti kurangnya ketersediaan informasi mengenai kondisi riil sungai-sungai di Banyumas, baik dari aspek kualitas air, kontur, maupun sedimentasi. Ia menyayangkan bahwa sungai masih dianggap sebagai tempat pembuangan akhir oleh banyak masyarakat.
“Masyarakat masih menganggap sungai sebagai tempat sampah terpanjang di dunia. Ini mindset yang harus diubah,” tegasnya.
Eddy menilai pengelolaan sungai seharusnya dilakukan secara terpadu dengan melibatkan berbagai pihak. Meski secara regulasi, pengelolaan sungai berada di bawah kewenangan pemerintah pusat sebagaimana diatur dalam Permen PUPR Nomor 04 Tahun 2015, pelaksanaannya di lapangan tetap membutuhkan dukungan aktif dari pemerintah daerah, komunitas, akademisi, sektor swasta, hingga media.
Wilayah selatan Banyumas seperti Tambak dan Sumpiuh disebut Eddy sebagai daerah yang paling terdampak kerusakan sungai. Tingginya sedimentasi di kawasan tersebut menyebabkan luapan air saat musim hujan, karena daya tampung sungai telah melebihi kapasitas.
Ia pun mendorong Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Serayu Opak untuk segera melakukan studi morfologi sungai, terutama Sungai Serayu yang menjadi aliran utama di wilayah Banyumas.
“Kalau sungainya bersih, budayanya ikut bersih. Tapi kalau kotor, budaya masyarakat juga ikut tercemar. Maka yang kita butuhkan sekarang adalah perubahan cara pandang bahwa sungai bukan tempat sampah, tapi sumber kehidupan,” pungkasnya.
Dengan ancaman banjir dan kerusakan lingkungan yang semakin nyata, suara-suara seperti Eddy Wahono menjadi penting sebagai pengingat bahwa sungai bukan sekadar urusan teknis, melainkan juga urusan budaya, pendidikan, dan keberlanjutan hidup masyarakat.