PURWOKERTO – Padepokan Filosofi Yasnaya Polyana kembali menggelar Penghargaan Filosofi Tridaya Upaya Karsa untuk keempat kalinya. Bertempat di Sasono Joko Kaimana, Pendopo Si Panji, Selasa (20/5/2025), ajang penghargaan ini menjadi bagian dari upaya berkelanjutan untuk memajukan pemikiran filosofis yang terbuka, serta menolak monopoli kebenaran oleh kelompok tertentu.
Tahun ini, penghargaan mengusung tema “Intelektual Organik: Upaya Membendung Para Calon Demagog”, menekankan pentingnya keberanian berpikir kritis di tengah derasnya manipulasi opini publik.
Empat tokoh yang dinobatkan sebagai penerima penghargaan adalah Surya Esa, I Komang Artanaya, Evi Subekti, dan Amanda Suharnoko. Mereka dinilai memiliki dedikasi luar biasa dalam kerja-kerja kemanusiaan yang berakar pada nilai-nilai filosofis serta konsistensi dalam berpikir dan bertindak demi kepentingan kemanusiaan, melampaui batas kepentingan pribadi maupun kelompok.
“Penghargaan ini diberikan kepada individu yang terus berkarya secara berkelanjutan dan memberi dampak luas bagi kemanusiaan. Mereka bukan hanya memiliki cipta, karsa, dan karya, tetapi juga semangat untuk bergerak demi kehidupan yang lebih adil dan beradab,” ujar Warseno, Ketua Panitia Penghargaan sekaligus Ketua Lembaga Advokasi Kearifan Lokal (LAKL).
Warseno menjelaskan bahwa Padepokan Yasnaya Polyana merupakan ruang pembelajaran yang menggabungkan semangat pencerahan berbasis pengetahuan dengan praktik hidup berkelanjutan, seperti pertanian organik. Dari sinilah, menurutnya, lahir sosok-sosok intelektual organik yang sangat dibutuhkan dalam kondisi bangsa yang tengah krisis kejujuran, keberanian, serta harmoni antara teori dan praktik.
“Intelektual organik harus menjadi lokomotif perubahan. Mereka bukan sekadar teknokrat atau praktisi, melainkan penyambung antara ilmu pengetahuan dan realitas sosial. Mereka harus bersuara lantang membela kebenaran dan membebaskan rakyat dari pembodohan sistematis,” tegasnya.
Ia menambahkan, perubahan sosial tidak bisa hanya dibebankan kepada institusi formal seperti perguruan tinggi atau masyarakat akar rumput yang kehidupannya masih subsisten. Diperlukan sinergi antara intelektual kampus dan intelektual rakyat untuk menciptakan masyarakat yang cerdas dan berdaulat.
“Kita butuh kepemimpinan yang lahir dari proses berpikir dan bergerak bersama rakyat, bukan dinasti politik, bukan neo-feodalisme. Dan tentu bukan praktik ‘kebo nyusu gudel’,” ujarnya menyinggung praktik-praktik kepemimpinan yang tidak meritokratis.
Di akhir sambutannya, Warseno menekankan bahwa kebodohan dan pembodohan merupakan akar kemunduran peradaban. Intelektual organik, katanya, harus berperan aktif dalam mencerdaskan bangsa sebagaimana yang dicita-citakan dalam Pembukaan UUD 1945.
“Bangsa yang cerdas tidak hanya mampu membongkar ketimpangan, tetapi juga merekonstruksi tatanan baru yang lebih adil. Inilah pekerjaan rumah kita setelah era reformasi, terutama dalam pendidikan politik dan penguatan organisasi masyarakat,” tutupnya.