Oleh : Rujito, M.Sos,
Jurnalis, Pemerhati Komunikasi Politik dan Dosen di UIN Saizu Purwokerto
PASANGAN Fahmi Muhammad Hanif dan Dimas Prasetyahani resmi dilantik Presiden Prabowo Subiyanto Bupati–Wakil Bupati Purbalingga periode 2025 – 2030, Kamis (20/2/2025) di Istana Merdeka, Jakarta. Janji politik Fahmi-Dimas tertuang alam strategi 100 hari pasangan Fahmi-Dimas memimpin Kabupaten Purbalingga. Waktu yang sebenarnya belum panjang, tapi cukup untuk menilai arah kepemimpinan dan kecakapan komunikasi politik mereka. Tagline kampanye mereka, “Alus Dalane, Kepenak Ngodene”, terdengar begitu menjanjikan saat masa kampanye. Kalimat sederhana berbahasa lokal yang menyentuh langsung jantung aspirasi wong cilik: rakyat butuh jalan mulus dan pekerjaan yang gampang.
Fahmi menegaskan visinya untuk lima tahun ke depan, yaitu Akselerasi Pembangunan Kolaboratif untuk Purbalingga Mandiri dan Sejahtera (serayunews.com). Visi ini terwujudkan melalui empat misi utama dengan konsep ‘B-A-R-U’: B (Bangkitkan ekonomi rakyat), A (Akselerasi pembangunan infrastruktur), R (Reformasi pelayanan publik), U (Unggulkan kualitas sumber daya manusia).
Namun, dalam praktiknya, janji manis itu belum juga terasa jejaknya. Di banyak titik di wilayah Purbalingga, jalan-jalan desa dan poros penghubung masih penuh tambalan, bergelombang, bahkan berlubang. Tidak sedikit warga yang masih mengeluh soal akses transportasi dan konektivitas antarwilayah yang buruk. Lalu, di mana letak “alus dalane” yang dulu dijanjikan?
Lebih dari sekadar infrastruktur, janji “kepenak ngodene” pun terasa masih seperti mimpi. Kalimat itu mencerminkan harapan bahwa warga Purbalingga akan dengan mudah mendapat pekerjaan yang layak, atau setidaknya tidak lagi harus merantau jauh ke luar daerah bahkan ke luar negeri. Faktanya, dalam 100 hari ini, belum ada satu pun program konkret yang menggambarkan adanya kemudahan akses kerja, pelatihan tenaga kerja berbasis potensi lokal, atau pembukaan lapangan kerja baru yang signifikan.
Sebagai peneliti komunikasi politik, saya melihat bahwa Fahmi-Dimas masih terlalu nyaman bermain dalam wilayah komunikasi simbolik yang populis. Pernyataan demi pernyataan terdengar ramah, dekat, dan membumi. Tapi publik tak hanya butuh narasi akrab; mereka menuntut narasi yang diturunkan dalam tindakan. Yang mereka harapkan bukan lagi janji, tapi bukti.
Tagline seharusnya bukan hanya jimat kampanye, tapi menjadi arah kebijakan. Jika “alus dalane” yang dimaksud adalah janji memperbaiki infrastruktur dasar, maka publik tentu menanti roadmap, prioritas anggaran, atau minimal progres awal. Apakah sudah ada lelang proyek jalan baru? Apakah sudah ada intervensi terhadap kawasan yang paling rusak? Jika tidak, maka tagline itu hanya sekadar retorika.
Begitu pula dengan “kepenak ngodene”, yang seharusnya punya indikator strategis. Misalnya, seberapa besar target pengurangan pengangguran di Purbalingga? Apa sektor unggulan yang akan diolah sebagai sumber lapangan kerja baru? Hingga hari ini, komunikasi publik Fahmi-Dimas belum menyentuh level ini. Mereka masih sibuk mengurus pencitraan, bukan menjawab tantangan dengan kebijakan yang terstruktur.
Dalam konteks komunikasi pembangunan, masyarakat tak hanya perlu diajak bicara—mereka butuh diajak bergerak bersama. Pemerintah daerah semestinya mulai berani mengumumkan kebijakan yang terukur, sekaligus membuka ruang evaluasi publik. Transparansi dan akuntabilitas bukan sekadar jargon, tapi menjadi instrumen untuk menjaga kepercayaan publik.
Kita tentu memahami bahwa membenahi Purbalingga tidak semudah membalikkan telapak tangan. Tapi rakyat juga tidak sebodoh dulu—mereka bisa menilai apakah pemimpinnya bekerja atau sekadar membual. Waktu 100 hari memang belum cukup untuk menuntaskan program, tapi sangat cukup untuk menunjukkan arah dan itikad serius.
Jika dalam waktu dekat Fahmi-Dimas tak kunjung menggeser komunikasi populis menuju komunikasi strategis, maka tagline kampanye mereka akan jadi bumerang. Kalimat “Alus Dalane, Kepenak Ngodene” bisa berubah jadi ejekan: ‘dalane isih bolong, ngodene malah tambah angel’. Dan di era digital seperti sekarang, ironi semacam ini bisa jadi viral dalam sekejap.
Purbalingga butuh pemimpin yang bukan hanya pandai berkata, tapi berani bertindak. Semoga 100 hari pertama menjadi cermin reflektif, dan bukan sekadar bab pembuka dari drama lima tahunan yang penuh janji tanpa realisasi.