PURWOKERTO – Ada yang istimewa di kantor Advokat Djoko Susanto, SH, yang juga Ketua Perhimpunan Advokat Suara Advokat Indonesia ( Peradi SAI) di Banyumas. Bukan hanya karena ruangannya selalu terbuka bagi klien, kolega, maupun para jurnalis, tetapi juga karena dari dapur kecil di balik ruang kerja itu kerap lahir aroma masakan yang menggugah selera—terutama di momen bersejarah seperti Hari Sumpah Pemuda, 28 Oktober 2025.
Hari itu, suasana di kantor hukum tersebut terasa hangat. Bukan oleh hiruk pikuk perkara, melainkan oleh semerbak. “Menu Sumpah Pemuda” hasil racikan tangan dingin Djoko sendiri: Ikan Patin Bumbu Kuning, Acar Timun Segar, serta Sambal Tempe Kencur Pedas yang berpadu dengan Sambal Kecap Manis. Menu ini bukan sekadar sajian kuliner, tapi simbol rasa persatuan yang membumi.
“Saya ingin ada cita rasa dari berbagai penjuru nusantara. Ikan patin dari sungai di Sumatera, bumbu kuning khas Jawa, dan sambal tempe kencur yang sangat Banyumasan. Kalau disatukan, seperti Indonesia: beragam tapi nikmat dalam satu rasa,” ujar Djoko sambil tersenyum di sela kesibukannya menyajikan makanan.
Tak heran, meja makan di ruang tamu kantor Djoko sore itu menjadi tempat berkumpulnya berbagai latar belakang—pengacara muda, aktivis, hingga jurnalis lokal. Mereka semua duduk bersama, menikmati hidangan yang sederhana tapi penuh makna kebangsaan.
Sutrisno, salah satu jurnalis dari IDN Times, yang kerap meliput kegiatan di kantor SAI, mengaku kagum dengan racikan sang advokat.
“Masakan Pak Djoko memang beda. Rasanya nikmat dengan bumbu yang pas. Apalagi sambalnya, benar-benar pedas nikmat. Kalau sudah makan di sini, rasanya seperti pulang ke rumah sendiri,” tuturnya dengan tawa ringan.
Dalam setiap suapan, ada filosofi yang terasa kuat. Ikan patin melambangkan keteguhan dan kesabaran, bumbu kuning menggambarkan kehangatan dan keceriaan, sementara sambal tempe kencur menjadi simbol keberanian dan kejujuran dalam menghadapi setiap tantangan hidup.
“Sumpah Pemuda itu tentang persatuan, tapi juga tentang semangat membangun dengan cara kita masing-masing. Saya masak bukan karena ingin dipuji, tapi karena saya ingin teman-teman yang datang ke sini merasa diterima, merasa satu keluarga,” kata Djoko lagi, menambahkan sedikit sambal di piring tamunya.
Tak sedikit jurnalis yang menjuluki kantornya sebagai “Warung Hukum Rasa Rumah”, karena selain berdiskusi soal kasus dan kebijakan, mereka juga kerap dihidangkan santapan khas rumahan oleh sang tuan rumah.
Di tengah derasnya arus profesionalisme dunia hukum, Djoko menampilkan sisi lain seorang advokat: hangat, bersahaja, dan tetap cinta tanah air. Melalui Menu Sumpah Pemuda, ia mengajarkan bahwa nasionalisme tak selalu harus berorasi di panggung besar; kadang ia bisa hadir lewat rasa pedas di lidah, gurihnya ikan di piring, dan tawa di antara sahabat.
Sore itu, aroma bumbu kuning masih tercium di udara. Di sudut meja, Djoko menatap bendera merah putih kecil yang berdiri di vas bunga, lalu berkata lirih,
“Kita ini Indonesia. Beda-beda bumbunya, tapi satu masakannya.”








