JAKARTA — Mahkamah Konstitusi (MK) telah menggelar sidang lanjutan perkara Nomor 143/PUU-XXIII/2025 pada Rabu, 2 Oktober 2025, terkait uji materiil Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Perkara tersebut berfokus pada pengujian Pasal 187 ayat (4) dan Pasal 209 ayat (2), yang diajukan oleh Razak Ramadhan Jati Riyanto, M. Abdul Latif Khamdilah, M. Hidayat Budi Kusumo, dan M. Mukhlis Rudi Prihatno, dengan kuasa hukum Nanang Sugiri & Partners.
Sidang ini menjadi penting karena menyangkut hak konstitusional mahasiswa kedokteran, dosen, dan institusi pendidikan terhadap kepastian hukum dalam sistem pendidikan kedokteran nasional.
DPR Akui Partisipasi Publik, Pemohon Minta Langkah Konkret
Dalam sidang tersebut, DPR RI menyampaikan apresiasi kepada para pemohon atas perhatian dan partisipasinya terhadap norma UU Kesehatan yang diuji. Namun, bagi para pemohon, ucapan tersebut sekaligus menjadi bentuk pengakuan bahwa keresahan mahasiswa dan praktisi kesehatan memiliki dasar konstitusional.
Kuasa Hukum Pemohon Nanang Sugiri menegaskan, “Kami menghargai ucapan terima kasih dari DPR, namun yang lebih penting adalah langkah konkret untuk memastikan norma UU Kesehatan tidak menimbulkan ketidakpastian hukum. Tujuan utama kami adalah menjamin hak konstitusional warga negara, kepastian hukum, dan integritas sistem pendidikan kedokteran.”
Para pemohon juga meminta agar DPR menyerahkan dokumen pembahasan RUU, risalah resmi, dan naskah akademik kepada Mahkamah agar proses penilaian terhadap maksud pembentukan pasal dapat dilakukan secara objektif.
Catatan Saldi Isra: Kontradiksi dalam Pasal
Hakim Konstitusi Prof. Dr. Saldi Isra, S.H., M.PA. menyoroti adanya kontradiksi antara kata “dapat” dan “penyelenggara utama” dalam Pasal 187 ayat (4). Menurutnya, kontradiksi ini harus ditelusuri melalui naskah akademik dan sejarah pembentukan undang-undang.
Menanggapi hal tersebut, Kuasa Hukum Pemohon menyatakan, “Apa yang disampaikan Prof. Saldi membuktikan bahwa norma ini bermasalah. Kami mendorong DPR dan Pemerintah menyerahkan naskah akademik, risalah rapat, serta kajian internasional agar Mahkamah dapat menguji maksud pasal secara objektif, ” Jelas Nanang Sugiri.
Para Pemohon menilai, ambiguitas pasal tersebut telah menimbulkan kebingungan di lapangan dan berpotensi melanggar Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 tentang kepastian hukum yang adil, serta bertentangan dengan Pasal 31 ayat (3) UUD 1945 tentang sistem pendidikan nasional.
Arahan Ketua Majelis: Pisahkan Keterangan Dua Kementerian
Ketua Majelis Hakim Konstitusi, Dr. Suhartoyo, S.H., M.H., memberikan arahan agar keterangan Kementerian Pendidikan Tinggi dan Kementerian Kesehatan dipisahkan secara jelas. Hal ini dianggap penting untuk mencegah tumpang tindih kewenangan dan memperjelas posisi masing-masing kementerian.
Kuasa Hukum Pemohon menyambut positif arahan tersebut. “Arahan Ketua Majelis memperkuat perlunya transparansi dan kejelasan posisi antar kementerian. Kami siap melengkapi bukti, menghadirkan saksi ahli, dan memberikan keterangan tambahan bila diminta,” ujar kuasa hukum Nanang Sugiri.
Pertanyaan Enny Nurbaningsih: Kejelasan Istilah dan Data Tenaga Dokter
Hakim Konstitusi Prof. Dr. Enny Nurbaningsih, S.H., M.Hum. memberikan perhatian khusus terhadap dua aspek penting, yakni:
1. Kejelasan nomenklatur Rumah Sakit Pendidikan Penyelenggara Utama (RSPPU) — apakah merupakan istilah hukum yang sah atau sekadar frasa kebijakan;
2. Ketersediaan data kebutuhan tenaga dokter spesialis sebagai dasar kebijakan yang tertuang dalam pasal a quo.
Bagi para pemohon, dua hal ini menegaskan lemahnya landasan implementatif norma dalam UU Kesehatan. Tanpa kejelasan hukum dan data yang valid, kebijakan hospital based dinilai berisiko menciptakan diskriminasi dan ketidakpastian hukum.
Kuasa hukum pemohon menambahkan, “Apa yang disampaikan Yang Mulia Enny membuktikan bahwa norma ini belum siap secara implementatif. Kejelasan nomenklatur dan data adalah syarat mutlak untuk menjamin keadilan dan kepastian hukum.” jelasnya.
Sidang Lanjutan: Pemerintah Diminta Hadirkan Keterangan Lengkap
Dengan mencermati seluruh keterangan DPR dan pandangan para Hakim Konstitusi, para pemohon menilai pasal-pasal yang diuji memang menimbulkan ketidakpastian hukum yang berdampak pada hak konstitusional mahasiswa, dosen, dan lembaga pendidikan kedokteran.
Untuk itu, para pemohon berharap agar sidang lanjutan pada 16 Oktober 2025 dapat menghadirkan keterangan Pemerintah yang lebih substansial, dilengkapi naskah akademik, risalah pembahasan, dan data resmi, sehingga Mahkamah Konstitusi memiliki dasar yang kuat dan objektif dalam mengambil putusan.
Perkara uji materiil ini menjadi salah satu momentum penting dalam evaluasi implementasi UU Kesehatan 2023, khususnya terkait tata kelola pendidikan kedokteran dan relasi antara institusi pendidikan dengan rumah sakit penyelenggara. Keputusan MK nantinya akan menjadi rujukan penting dalam menentukan arah reformasi sistem kesehatan dan pendidikan kedokteran di Indonesia.