BANYUMAS – Di usia senjanya, Narsih (60), tokoh lengger asal Banyumas, kembali menapaktilasi jejak panjang hidupnya sebagai penari tradisi. Kisah perjalanan lebih dari lima dekade itu terbingkai dalam pertunjukan Memoar Lengger Narsih: Ritus Baritan di Hetero Space Banyumas, Selasa (30/9/2025).
Tak sekadar pertunjukan tari, memoar ini menyuguhkan pengalaman hidup seorang lengger yang pernah menjadi bagian sakral dari ritus baritan, upacara tolak bala dan doa kesuburan yang kini kian tergerus zaman.
Pejabat Pembuat Komitmen Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) Wilayah X, Edy Budiyanto, menyebut Narsih sebagai sosok penting dalam warisan budaya tak benda Indonesia.
“Jejak pengabdian Narsih di seni tradisi lengger sudah 53 tahun. Dari situ, beliau memiliki pemahaman mendalam tentang lengger. Penting untuk mendokumentasikan riwayatnya agar tidak punah,” kata Edy.
Pertunjukan yang didukung Program Fasilitasi Pemajuan Kebudayaan (FPK) 2025 BPK Wilayah X itu tersaji dalam empat babak. Babak klenengan membuka kisah awal Narsih remaja—diperankan Yanika Lintang—yang menjalani laku mbarang dan midhang dari desa ke desa.
Di babak lenggeran, Narsih sendiri muncul sebagai penari utama. Ia menyibak penonton, berhadapan dengan bayangan dirinya di masa remaja.
“Biyung Narsih bermonolog tentang riwayat dirinya yang mulai menari sejak usia 7 tahun. Ia mengenang gendhing favoritnya, sekar gadhung, dan gerakan khas sendhetan lumpatan,” ujar sutradara Abdul Aziz Rasjid.
Babak badhutan menghadirkan rekonstruksi ritus baritan. Narsih digambarkan membantu seorang petani muda yang terancam gagal panen dengan ritual baritan menggunakan sapu jerami. Konsep ini menampilkan lengger bukan hanya sebagai penari dan penyanyi, tetapi juga sosok interaktif yang dekat dengan masyarakat.
Sementara babak penutup ditandai dengan tari Baladewan yang dibawakan putri Narsih, Wahyu Yunaeni. Tarian ini menjadi simbol ikhtiar manusia agar senantiasa diberkati dalam perjalanan hidupnya.
Tak hanya menampilkan lengger, pementasan juga melibatkan Sanggar Ngudi Luwesing Salira yang diasuh Narsih. Penayagan calung yang mayoritas beranggotakan perempuan ini menjadi penegasan atas peran aktif perempuan dalam seni tradisi.
Memoar Lengger Narsih menjadi bukan sekadar pentas, melainkan perenungan tentang warisan budaya yang rawan punah. Lewat tubuh dan kisah hidupnya, Narsih menegaskan bahwa lengger adalah laku hidup—bukan sekadar hiburan, melainkan doa, ritus, dan identitas Banyumas.